Keinginannya ke Syam memang bisa dikatakan paling berbeda jika dibandingkan dengan teman-teman nya yang lain. Karena kalau dipikir-pikir, siapa juga yang mau belajar ke negara yang habis porak poranda karena konflik. Tapi karena ada kesempatan, amanah, dan harapan dari para asatidz dan keluarga, ditambah keinginannya untuk berkhidmat kepada anak yatim dan dhuafa dengan mendidik mereka Alquran menjadi motivasi tersendiri. Maka pemuda itu meyakinkan dirinya untuk berani mengambil kesempatan itu. Namanya Muhammad Ikhsan Aminudin, santri kelahiran Sukoharjo, 17 Januari 2000 ini memutuskan untuk merantau ke Suriah. Suriah atau Syam, negara dengan sejarah perang saudara dan konflik sektarian. Seolah ingin meyakinkan khalayak, Suriah yang terkenal dengan kota dermawan dan pemurah itu sekarang sudah baik-baik saja.

Ikhsan, sapaan akrabnya, alumni MBS angkatan ke-6 ini menceritakan kisahnya menuju ibukota Suriah, Damaskus. “Proses perjalanan ke Syam ini memang bukan satu satunya perjuangan saya untuk tholabul ‘ilmi ke luar negeri”, akunya. Sejak SMA,  putra kedua dari empat bersaudara pasangan dari bapak Ismaryanto dan Ibu Marsamti sudah berjuang untuk mendapatkan beasiswa. Dirinya termotivasi dari kakak kelasnya yang sudah terlebih dahulu merantau ke luar negeri, seperti di Madinah, Mesir dan Sudan. Qodarullah, berkas yang dikirim ke Madinah tidak ada kabarnya sama sekali. Walhasil, cita-citanya untuk berkelana di luar negeri untuk sementara waktu tertunda,  usahanya yang pertama belum terkabul.

Tidak menyurutkan semangatnya untuk bisa tetap kuliah di luar negeri, Ikhsan yang waktu nyantri pernah menjadi anggota khusus KOKAM MBS ini terus berusaha sekuat tenaga dengan senantiasa menambah khazanah keilmuannya. Atas dasar itulah, setelah lulus dari MBS Ikhsan menjatuhkan pilihannya ke Ma’had Aliy Tahfidzul Quran Baitul Hikmah Sukoharjo. Dengan harapan kualitas bahasa arab dan hafalan Qur’annya bertambah. Sebuah keputusan yang tepat, selama kurang lebih 24 bulan Ikhsan berhasil menyelesaikan program D2 tarbiyah dan sukses mengkhatamkan hafalan 30 juz. Mantan sekretaris bagian Kajian Dakwah Islam IPM MBS ini juga menorehkan prestasi di almamaternya dengan menjabat sebagai Ketua BEM Ma’had ‘Aliy Baitul Hikmah. Tentunya, menjadi sebuah bonus istimewa diluar prestasi akademiknya.

Berbekal tambahan ilmu dan modal hafalan Quran 30 Juz, Ikhsan mencoba peruntungannya kembali dengan mengirimkan berkas ke Sudan. Kali ini nasib baik berpihak padanya. Dinyatakan diterima di Sudan, sebuah negara yang juga menjadi rujukan para pencari ilmu. Namun sekali lagi, Allah memang belum menghendaki putra asli Sukoharjo Jawa Tengah ini  ngangsu kawruh di negara dengan jumlah piramid terbanyak di dunia. Terkendala masalah biaya, akhirnya keinginannya untuk belajar ke luar negeri pun terpaksa kembali diurungkan. Kecewa sudah pasti, Ikhsan hampir saja memutuskan untuk menyerah dan mendaftarkan diri ke UMS.

Ditengah keputus asaannya, Ikhsan teringat dengan jargon yang familiar di kalangan masyarakat jawa. Gusti Allah mboten sare. Sebuah kalimat singkat sarat makna yang menggugah Ikhsan untuk segera move on dan bangun mengejar mimpinya.“Sekitar satu bulan sebelum wisuda Ma’had, masuk info ke ustadz saya yang lulusan Syam bahwa di Jami’ah Bilad Syam membuka pendaftaran mahasiswa baru setelah dua tahun vakum karena covid, “paparnya. Saya ditawari untuk mendaftar ke lembaga Al Syami. Al Syami adalah lembaga yang menjadi penghubung antara Indonesia dengan Universitas yang ada di Suriah. Dan semua anggota Al Syami adalah para alumni Syam. Kesempatan emas, yang dinanti akhirnya datang juga, ungkapnya dalam hati.

Singkat cerita, waktu pendaftaran untuk wilayah Jateng akhirnya resmi dibuka, jumlah pendaftar sekitar 30 orang. Ada bagian yang saya kagum dengan panitia, dimana mereka meminta 200 ribu untuk biaya pendaftaran. Setelah banyak yang mendaftar, satu pekan sebelum ujian panitia meminta setiap peserta untuk mengirim uang test sejumlah 300 ribu. Dan setelah tiba di hari H ujian dari pendaftar yang berjumlah lebih dari 30 orang, yang datang dan menyelesaikan proses pendaftaran dengan biaya 500 ribu sekitar 20 orang yang rata-rata dari pondok pesantren nahdliyin. Dari pendaftar awal  banyak yang mundur dikarenakan biaya yang tinggi dan peluang diterima yang kecil karena hanya diterima delapan orang dari setiap provinsi.

Materi ujian meliputi kemampuan bahasa, tsaqofah islamiyah hingga ilmu kenegaraan. Alhamdulillah, Allah memberikan kemudahan saya dalam ujian. Tidak bermaksud over confident, perihal bahasa dan tsaqofah islamiyah saya sudah lumayan matang ketika mengenyam pendidikan di MBS. Setelah rangkaian ujian selesai, panitia membagikan amplop kepada para peserta ujian yang saya kira itu adalah hasil ujian. Penasaran, setelah saya buka ternyata isinya adalah uang 300 ribu yang kita berikan sebelum ujian. Panitia memberikan amplop sembari mengucapkan terimakasih karena sudah bersabar mengikuti setiap tahapan dalam ujian.

Ujian kami begitu berkesan karena dihadiri oleh wakil gubernur Jateng Gus Yasin yang notabene  juga salah satu lulusan Syam. Ada sedikit insiden kecil yang saya alami pasca ujian selesai. Baru sepuluh menit keluar dari Sragen, saya kecelakaan dan harus dilarikan ke puskesmas terdekat. Sebagian kecil dari ujian saya masuk ke Syam, semoga Allah memberkahi setiap langkah perjuangan saya untuk belajar. Setelah menunggu selama satu pekan, akhirnya ada kabar bahagia. Tidak hanya lolos seleksi, nama saya masuk peringkat empat besar. Itu artinya saya berkesempatan untuk bisa langsung belajar di jami’ah Bilad Syam bersama 30 calon mahasiswa baru perwakilan dari setiap provinsi.

Dengan izin Allah orangtua saya terbilang mudah untuk diyakinkan kalau saya akan baik-baik saja ketika belajar di Suriah. Karena selama ini, pandangan masyarakat tentang Suriah masih minor. Parahnya, stigma negatif tentang Suriah justru datang dari teman-teman dekat saya yang khawatir akan keselamatan saya disana. Banyak yang berasumsi kalau saya ke Suriah mau berbaiat ke ISIS, ikut perang atau belajar merakit bom, kemudian pulang ke tanah air jadi gembong teroris berpaham radikal.

Dan Alhamdulillah berkat do’a restu dari orangtua dan asatidz, perjalanan saya lancar hingga sampai di Suriah dengan selamat. Ternyata, kekhawatiran itu semuanya tidak terbukti. Saya tidak melihat Suriah sebagai negara konflik, bahkan nilai toleransi disini dijunjung tinggi. Kita diajarkan untuk menerima segala perbedaan dan tidak mudah menyalahkan orang lain. Bahkan, dalam pelajaran manhaj dakwah, para dosen sering menyampaikan di depan ratusan mahasiswa dari berbagai negara agar kita ber islam seperi islamnya masyarakat Indonesia. Begitulah faktanya, banyaknya para ulama ahlulquran dan hadits menjadikan Syam termasuk tempat yang mendapatkan doa keberkahan dari Rasulullah.

Dengan ilmu yang begitu banyak di Syam dan fasilitas yang tersedia begitu lengkap, ketika saya ditanya lagi “kenapa harus Syam?” maka saya balik bertanya “Kenapa bukan Syam?”.(ElMoedarries)

2 replies

Comments are closed.