
Sejarah MBS Yogyakarta
Sejarah MBS Yogyakarta

Pondok pesantren Muhammadiyah Boarding School atau yang lebih dikenal dengan MBS untuk pertama kali berdiri di pinggiran timur Kabupaten di Desa Bokoharjo Kecamatan Prambanan. Sejarah awal pendirian MBS tidak terlepas dari adanya keprihatinan para kader muda Muhammadiyah yang merasakan betapa minimnya generasi kader persyarikatan diwilayah Prambanan dan sekitarnya. Sekolah – sekolah Muhammadiyah yang ada belum bisa menjadi jawaban akan kurangnya kader.
Akhirnya munculnya sebuah gagasan untuk mengembangkan sekolah yang sudah ada yaitu SMP Muhammadiyah 1 Prambanan untuk menjadi sebuah pesantren dengan muatan kurikulum terpadu antara umum dan pesantren. Tokoh muda yang menggagas ide ini diantaranya adalah Muhammad Nashirul Ahsan, salah satu putra tokoh Muhammadiyah Prambanan alumni LIPIA Jakarta dan menjadi tenaga pendidik disalah satu pesantren non Muhammadiyah.
Gayung bersambut, ide dan gagasan para tokoh muda disetujui oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Prambanan dan Kepala SMP 1 Muhammadiyah Prambanan. Akhirnya konsep pengembangan SMP 1 Muhammadiyah Prambanan dilanjutkan dengan mengadakan studi banding kebeberapa pesantren di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Berjalannya waktu, terjadi perbedaan pandangan dengan para tenaga pendidik internal SMP 1 Muhammadiyah Prambanan. Ternyata tidak semua guru sepakat dengan ide pengembangan SMP 1 Muhammadiyah Prambanan menjadi pesantren. Beragam alasan dan kekhawatiran meraka sampaikan, mediasi dan komunikasi yang terus dilakukan belum juga membuahkan hasil. Akhirnya ide dan gagasan yang sudah matang menjadi mentah kembali, tim pengembang melakukan beberapa upaya, salah satunya dengan berkoordinasi dengan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Yogyakarta untuk mendirikan Pesantren.
Ketua PWM Yogyakarta pada saat itu Dr. H. Agung Danarto, M.Ag memberi dukungan penuh untuk melanjutkan proses yang sudah berjalan, “kalau sulit untuk mengembangkan yang sudah ada, dirikan saja pesantren baru di Prambanan” begitu pernyataan beliau sebagai bentuk dukungan dan mematik semangat para pemuda. Berbekal motivasi dari PWM, para tokoh muda akhirnya memutar haluan, rencana awal dari pengembangan, menjadi pendirian pesantren. Berbagai upaya menggalang dukungan dilakukan, salah satunya adalah meminta nasehat dari sesepuh Muhammadiyah, Bapak Prof. Dr. Amien Raisa, M.A, beliau setuju dan siap menjadi penasehat, dukungan dari tokoh juga diperoleh dari ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, ketua PP Aisyiyah Prof. Dr. Hj. Siti Chamamah Suranto, Wakil Bupati bapak Drs. Sri Purnomo, M.Si.
Waktu terus berjalan, dukungan dari para tokoh sudah ditangan, bermodal bismillah rencana pendirian sudah dimantapkan. Namun proses yang ada belum sesuai harapan, satu masalah baru muncul, dimana lokasinya?. Pertanyaan itu muncul karena tidak terfikir sebelumnya untuk mendirikan pesantren baru. Para pemuda hanya bermodal semangat, lahan lokasi pendirian belum meraka miliki.
Munculnya sebuah ide untuk membeli sebidang tanah dengan menggunakan dana dari masyarakat melalui penggalangan dana untuk membebaskan tanah, terlontar juga gagasan untuk memanfaatkan lahan milik kraton Ngayogyakarta, untuk menyampaikan permohonan pemanfaatan sebidang tanah milik kraton (sultan ground) di Desa Plempoh Kelurahan Bokoharjo Prambanan. Setahun kemudian pihak kraton memberikan persetujuan dengan system sewa hak pakai.
Disinilah awal sejarah dimulai, tepat pada hari Ahad tanggal 20 Januari 2008 diresmikan Pondok Pesantren Muhammadiyah Boarding School (MBS) Yogyakarta yang peletakan batu pertama di lahan milik Sultan, dilakukan oleh Prof. Dr. Amien Rais, M.A. Bersamaan itu diadakan penggalangan dana dari seluruh jamaah yang hadir, Alhamdulillah antusias jamaah dalam rangka turut membatu terbelinya sebidang tanah untuk pembangunan gedung MBS.
Hasil perolehan dari penggalangan dana digunakan untuk pembebasan tanah, dan dengan bantuan dari beberapa donatur, terbangunlah sebuah gedung dengan 3 ruangan yang menjadi sejarah pertama kali gedung yang dimiliki oleh MBS Yogyakarta.
Bangunan dengan tiga ruang tersebut menjadi gedung multifungsi sebagai ruang untuk belajar, sekaligus mushola dan asrama santri putra.