Kalimat ‘annadzofatu minal iman’ , sebuah pesan singkat mahfudzat yang sarat makna, mudah terucap dan dihafalkan namun sangat berat diamalkan. Ditambah pesan yang tersurat dalam wahyu ilahi surat Arrum ayat 41 yang artinya ‘telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)’. Isi kandungan ayat di atas membawa pesan moral yang sangat berharga, banyak kejadian bencana alam yang melanda negeri kita akhir-akhir ini terjadi akibat dari kelalaian dan ketidakpedulian sesosok makhluk hidup bernama manusia. Manusia yang telah menyatakan sanggup dan mampu memikul amanah menjadi khalifah di bumi yang tugasnya menjaga kelestarian dan keseimbangan alam semesta, malah bertindak kontraproduktif. Bencana banjir, tanah longsor, kebakaran hutan adalah bukti kecil ketidakpedulian manusia untuk merawat dan menjaga keseimbangan ekosistem alam. Alih-alih merawat, manusia justru punya andil besar menjadi penyebab utama bencana alam yang terjadi.

Atas dasar itulah, berbekal karung bekas dan kantong plastik, menyusuri aliran sungai dan memunguti sampah yang terbawa aliran sungai. Begitulah yang dilakukan anak-anak berseragam biru yang tergabung dalam wadah SAPALA MBS. Di bawah komando Ustadz Hemat, sedikitnya 62 santriwan diajak ‘menyapu’ dan menghilangkan ‘noda’ yang menempel di aliran sungai gejlik. Sungai gejlik yang dulunya nampak jernih dan menyegarkan sekarang sudah mulai keruh, hingga menghilangkan ‘pesonanya’.

Bersama SAPALA MBS, Santri Pecinta Alam, sebuah nama yang identik dengan kegiatan tadabbur alam, penjelajahan ayat kauniyah, mendaki gunung, climbing, rappling dan hal-hal yang berbau petualangan, kali ini dibawa ke salah satu sungai yang dalam bahasa arab dinamakan ‘an nahru’, sebuah kata dalam alquran yang selalu bergandengan dengan kata ‘jannah’ yang sejatinya mustahil melekat padanya sifat kotor dan keruh.

Menurut Ustadz Hemat, apa yang dilakukan anak-anak adalah bentuk keprihatinan dan kepedulian kita terhadap alam, salah satunya sungai gejlik yang kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh dari pondok. Seandainya bisa bicara layaknya manusia, saya yakin sungai-sungai yang ditimbuni dan dilempari sampah oleh manusia pasti akan berteriak dan mengaduh. Bencana banjir yang terjadi kemungkinan besar adalah bentuk ‘demonstrasi’ besar-besaran yang dilakukan ‘komunitas’ air yang bergerak secara massif melakukan protes kepada manusia. Untuk itulah melalui SAPALA kita mencoba memulai sesuatu yang kecil, memunguti sampah dan kotoran yang terbawa aliran sungai. Harapannya dengan usaha dan upaya kita ini bisa di dengar dan dilihat ‘sungai’ dengan ‘mata’ dan ‘telinganya’, bahwasannya masih ada sekelompok manusia yang mau peduli, merawat dan menjaga kelestarian alam.

 

 

1 reply

Comments are closed.