Pria dengan balutan pakaian dinas militer itu tampak gagah. Badannya tinggi dan kekar. Gayanya santai sembari menggandeng tangan ibunya. Pandangannya tajam, penuh optimisme. Sebuah foto yang mengundang kagum.
Dia adalah Faisal Ihkam Zaki. Alumni Ponpes Muhammadiyah Boarding School (MBS) Yogyakarta Angkatan ke-7. Saat ini dirinya telah menyelesaikan pendidikan Bintara di Rindam II Sriwijaya.
Putra asli Tulang Bawang Barat, kelahiran Metro, 31 januari 2001 itu menjadi satu dari 408 siswa Bintara TNI. Selama pendidikan, ia ditempa dan dididik menjadi prajurit TNI yang berani dan tangguh.
Kini, Faisal Ihkam Zaki, putra pertama pasangan Bapak Slamet, S. Pd dan Ibu Ayunda Wulansari telah berhasil menggapai citanya dengan sukses menjadi Prajurit TNI berpangkat Sersan Dua (Serda) di Batalyon Infanteri 144 Jaya Yudha, Sumatera Selatan.
Dengan menyandang jabatan Danru Radio Tonkom Yonif 144 Jaya Yudha, dirinya mendapat kepercayaan untuk mengemban misi mulia dengan bertugas di daerah konflik Pegunungan Bintang, basis OPM terbesar di Papua.
Faisal mengakui menjadi seorang pasukan yang ditugaskan di daerah konflik menjadi kebanggan tersendiri baginya. Pria yang tergabung di corp Perhubungan/Elektronika dan Cyber tersebut baru dapat mengaplikasikan kemampuannya saat bertugas di daerah konflik.
Keberhasilan santri itu menjadi abdi negara tidak terlepas dari jasa dan gemblengan di MBS. Faisal dan santri lainnya sudah dididik dengan kedisiplinan tinggi sejak mondok.
“Selama mondok, kami selalu dididik dengan disiplin. Tidak hanya disiplin waktu, tapi juga disiplin ilmu atau akademik serta yang paling penting katanya disiplin ibadah,” ungkap Faisal.
Dari didikan itu, mantan qismu nadhofah (bagian kebersihan) IPM Putra MBS itu bahkan mengaku tidak terlalu terkendala ketika mengikuti tes masuk TNI. Apalagi, ia juga santri yang aktif dalam berbagai kegiatan olahraga selama di MBS.
Bekal yang dibawa Faisal dari MBS juga sangat berguna ketika pendidikan. Latihan dan didikan yang berat terasa sedikit ringan. Hal itu buah dari didikan disiplin nyantri di MBS.
“Di MBS kan pernah merasa beratnya proses pendidikan. Mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali, semuanya diatur dan serba disiplin. Dari tempaan itu saya merasa proses pendidikan ini agak lebih ringan jika dibandingkan dengan teman-teman yang tidak berasal dari Pondok Pesantren,” kisahnya.
Pendidikan di Ponpes MBS memang meninggalkan bekas bagi prajurit yang punya motto “man jadda wajada” itu. Selama menempuh pendidikan, Ia dibentuk menjadi pribadi yang berilmu, berakhlak, kuat dan disiplin.
Nyaris sama dengan santri lainnya ketika mondok, awalnya Faisal mengaku juga cukup berat. Waktu itu ia merasa terkungkung dalam lingkungan pondok dengan seabreak rutinitas yang tidak bisa ditinggalkan.
“Awal-awalnya memang berat menjadi santri, namun lama kelamaan terasa manfaatnya. Apalagi motivasi-motivasi dari asatidz luar biasa. Dari terpaksa, kemudian terbiasa dan akhirnya bisa,” tutur pria 24 tahun yang sebentar lagi akan melepas masa lajangnya tersebut penuh semangat.
“Terimakasih MBS, tanpa didikan MBS maka saya tidak akan menjadi pribadi yang seperti ini. Semoga Ponpes MBS kian maju dan menjadi harapan untuk pendidikan bagi generasi muda,” ujarnya.
Semasa mondok, Faisal dikenal sebagai santri yang biasa saja. Ia tak terlalu menonjol, namun semua kegiatan dan agenda selalu diikuti. Tapi, ia sosok yang amat senang dengan dunia otomotif. Bongkar pasang mesin motor kerap ia lakukan ketika menghabiskan waktu liburannya di rumah.
Setidaknya, kerja keras dan jalan hidup Faisal mematahkan paradigma banyak orang. Alumni pondok pesantren bisa berkiprah di mana saja, termasuk mengabdi di dunia militer dan di bidang lainnya.(ElMoedarries)