IKA MBS Cabang Sudan memastikan tak ada anggotanya yang menjadi korban. Saat ini ada sekitar 21 alumni MBS yang tinggal di Sudan dan tengah melanjutkan pendidikannya di International University of Africa.
“Hingga saat ini, tidak ada rekan-rekan alumni MBS yang menjadi korban peristiwa dimaksud. Tercatat terdapat 21 mahasiswa lulusan MBS yang menetap di Sudan,” kata M. Khoiru Ribath, ketua IKA MBS Cabang Sudan dalam keterangannya via wa. Ribath mengatakan peristiwa baku tembak yang terjadi pada Sabtu (15/4) tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat antara militer dan paramiliter RSF. Baku tembak terjadi pada sejumlah titik di kota Khartoum.
“Peristiwa ini diduga disebabkan adanya perbedaan pendapat antara militer dan RSF terkait proses reformasi sektor keamanan dan integrasi RSF ke dalam militer Sudan, sebagai bagian dari proses politik yang sedang berlangsung saat ini,” ungkapnya.
Wakil ketua PCIM Sudan itu memastikan KBRI Khartoum-Sudan, PCIM Sudan dan PPI Sudan terus memantau situasi dan memberikan imbauan ke masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan. WNI yang ada di lokasi konflik tersebut juga diminta menjauhi titik-titik rawan yang ada.
“KBRI juga terus mengintensifkan komunikasi dengan masyarakat Indonesia,” kata dia.
Ahmad Helmi Fuadi, salah satu anggota IKA MBS cabang Sudan mengatakan penduduk Khartoum ‘belum pernah melihat yang seperti ini’. Asap hitam menyelimuti langit Sudan.
“Orang-orang ketakutan dan berlari pulang. Jalan-jalan kosong dengan sangat cepat,” kata mahasiswa asal Magelang tersebut.
Ledakan aksi kekerasan terjadi dalam minggu-minggu ini seiring dengan perselisihan antara pemimpin militer Abdel Fattah al-Burhan dan orang nomor dua, komandan RSF, Hamdan Dagalo. Diketahui Dagalo berencana mengintegrasikan tentara RSF ke dalam tentara reguler.
Pihak tentara Sudah mengklaim mereka telah melancarkan serangan udara dan ‘menghancurkan’ dua pangkalan RSF di Khartoum.
Sementara itu, Farrel Izham Prayitno turut menjadi saksi saat perang meletus antara pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dan militer negara Afrika Utara itu pada pekan lalu.
Farrel, alumnus MBS anggota PPI Sudan mengatakan kawasan kampusnya sempat menjadi titik pertempuran sengit RSF dan militer Sudan.
Hampir 3×24 jam kita dengar suara tembakan ledakan dan suara pesawat tempur lewat,” kata Farrel saat dihubungi via wa, Ahad (16/4) malam.
Farrel menuturkan sebagian jaringan listrik di ibu kota padam sejak perang kota berlangsung. Meski begitu, ia tak mengetahui pasti penyebab pemadaman itu apakah karena mengalami kerusakan imbas pertempuran atau memang pihak berwenang memutus aliran listrik agar situasi tak makin kacau.
Jadi kami inisiatif membuat beberapa titik kumpul pengungsian supaya lebih mudah mengorganisirnya,” kata Farrel.
“WNI disini membutuhkan tempat evakuasi yang lebih layak seperti ada akses untuk listrik dan air yang lebih mudah. Untuk seperti bahan-bahan pokok sudah ada relawan dari mahasiswa PPI Sudan yang mulai bergerak,” ucapnya menambahkan.
Farrel mengatakan ia dan para rekan alumni melalui PCIM dan Lazismu Sudan, serta WNI lain juga menggalang dana untuk disalurkan di beberapa titik pengungsian. Hingga kini, bantuan itu terkumpul sekitar Rp30 juta. Sejak perang pecah, kata dia, banyak warga yang belum berani ke jalan umum.
“Kami di sini kesulitan untuk mencari bahan makanan pokok terutama yang berada di dalam kampus dan asrama karena harus melewati jalan besar dan banyak warung dan pusat perbelanjaan yang tutup,” ujar Farrel.
Merespons situasi itu, para WNI mengaku sudah berkoordinasi dengan pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Sudan.
Sejauh ini, KBRI baru mengeluarkan imbauan agar para WNI tenang dan tetap di dalam rumah, memantau situasi dan mengupayakan bantuan logistik.(ElMoedarries)