Membaca atau Iqra’ meminjam istilah Alquran, di era globalisasi seperti sekarang telah hilang dan lenyap bak ditelan waktu. Sejak era kecanggihan teknologi saat ini, maka yang menjadi daya tarik bagi anak-anak kita bukan lagi buku, namun gadget dan televisi. Coba saja lihat di rumah kita dan lingkungan sekitar. Anak-anak merunduk bermain game atau aktif di dunia medsos melalui hape nya. Selain di keluarga, membangun budaya membaca harus dimulai dari sekolah. Mengapa sekolah? Karena sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan yang berperan sangat penting bagi pengembangan potensi sumber daya manusia. Namun harus kita akui secara jujur, bahwa secara umum kegiatan intelektual membaca dan menulis belum menjadi tradisi di sekolah. Bahkan di lingkungan sekolah yang notabene merupakan sebuah komunitas akademik, kegiatan membaca dan menulis di kalangan guru maupun siswa masih rendah. Pemerintah menyadari pentingnya penumbuhan karakter peserta didik melalui kebijakan membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Namun untuk mensukseskan rencana besar ini, tidak bisa instant dan bersifat temporary. Yang akan dibangun itu adalah kebiasaan, maka dibutuhkan suatu pembiasaan yang harus terus menerus dilakukan sejak usia dini dan untuk itu konsistensi sangat diperlukan.
Menengok kebelakang di zaman para nabi ketika semua akses masih sangat terbatas, hanya bermodalkan semangat iqra’, para pembawa risalah mulia ini menemukan dan menguasai hal baru di dunia. Tradisi itu berlanjut di era Imam Syafi’i yang terkenal dengan penggalan syairnya ‘al’ilmu shoidun wal kitaabatu qoiduhu, qayyid shuyuudaka bil hibaalil watsiqati’. Kemudian tongkat estafet itu beralih ke zaman ulama besar dan kyai atau ustadz pada waktu itu yang menghabiskan waktu usianya untuk Iqra’, membaca kemudian menuangkannya dalam bentuk ide-ide berbentuk tulisan dengan goal sebuah produk bernama ‘kunci’ yang akan membuka khazanah keilmuan baru.
Gambaran di atas menginspirasi santriwan MBS untuk membuat sebuah habit atau kebiasaan membaca. Dengan memenuhi perpustakaan disela-sela waktu istirahatnya, mereka nampak asyik menyelami bahtera ilmu dengan membaca buku yang tersedia di perpustakaan. Menyadari akan pentingnya asupan bacaan sebagai nutrisi otaknya, mereka meyakini dengan budaya membaca akan membuka wacana baru. ‘Kanzun’ yang masih terselimuti kabut hitam akan tersingkap dengan kunci-kunci ilmu. Karena dari sinilah (perpustakaan) peradaban baru akan tercipta, lahir menerangi dunia dengan cahaya atau nur yang bernama pengetahuan.
Bagi rekan-rekan lainnya baik guru dan karyawan yang masih asing dan belum familiar dengan dunia literasi, belum terlambat untuk memulai. Sekarang adalah saat yang tepat untuk ta’aruf dengan buku, berkenalan lebih dekat dan akrab lagi dengan sumber ilmu. Dapatkan sensasinya dengan penguasaan kanzun khazanah keilmuan baru, yang dengannya kita bisa buka lebar-lebar pintu peradaban baru yang warnanya menghiasi dunia pendidikan di Nusantara dan mengguncang jagat raya.
Comments are closed.