Sleman – Ragamnya pemberitaan media sosial tentang pondok pesantren akhir-akhir ini cukup meresahkan. Hal tersebut secara tidak langsung memicu framing negatif terhadap pondok pesantren di Indonesia. Kondisi yang demikian membuat beberapa pihak perlu untuk meluruskan apa yang sebenarnya terjadi. Termasuk upaya memberikan bekal bagi tenaga pendidikan yang berada di lingkungan pesantren dalam menghadapi kondisi tersebut. Untuk itu, pada hari Ahad (16/11) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia, mengadakan kegiatan peningkatan mutu SDM dengan mengangkat topik “Peningkatan Kapasitas SDM: Strategi Kontra Narasi Delegitimasi Pesantren di Media Sosial”.
Kepedulian MBS Yogyakarta terhadap sajian informasi yang aktual, sehat, dan berdasar fakta di media sosial, khususnya milik pondok pesantren sendiri, menjadikan kegiatan pelatihan ini perlu untuk diikuti. Oleh karena itu, pondok pesantren mengirimkan dua perwakilannya, yaitu ustazah Dian Harmayanti, dari bagian humas dan ustazah Yunia Susanti, S.T.P., dari bagian multimedia MBS Yogyakarta. Kegiatan pelatihan ini berlangsung di Hotel New Saphir Yogyakarta dengan dihadiri oleh lebih dari 100 peserta yang berasal dari kalangan santri, asatiz, maupun tenaga pendidikan pondok pesantren di lingkungan Kabupaten Sleman.

Bapak Dr. Andi Prastowo, S.Pd. I., M.Pd. I., Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kelembagaan, dalam sambutannya menyampaikan, “Hari ini kita diajak untuk belajar merespon pemberitaan miring tentang pesantren yang sedang marak di media sosial. Melalui kontra narasi, harapannya unsur-unsur pesantren dapat menghadapi dinamika negatif tersebut.”
Kegiatan pelatihan peningkatan kapasitas SDM dipandu oleh bapak Eko Wibowo, S.T., sebagai moderator. Bapak Eko mengajak seluruh peserta untuk memiliki tiga poin penting selama mengikuti pelatihan. Pertama, positive thinking, menyerap ilmu yang diperoleh dengan tetap bersikap positif dan netral. Kedua, out of the box, yang dicontohkan dengan mengikuti kegiatan hari ini para peserta dapat bertemu dengan banyak orang baru. Ketiga, to the best, harapannya peserta dapat memperoleh hal-hal yang baik dari materi yang akan dipelajari bersama.
Sebagai pemateri, bapak Dr. Moh. Mufid, Lc., M.H.I., dosen UIN Sunan Kalijaga, memaparkan materi secara lugas. Beliau menyampaikan bahwa hidup di zaman digital seperti sekarang jauh berbeda seperti hidup di zaman dulu. Hidup di zaman sekarang, semuanya serba cepat dan muncul framing-framing di kalangan masyarakat. Termasuk framing pesantren yang dulu dikenal hanya dikenal untuk mendalami ilmu agama. Sekarang sudah bermunculan pesantren-pesantren yang menggabungkan kurikulum pesantren dengan kurikulum nasional dan itu tidak masalah. Akan tetapi, yang menjadi konsentrasi pembahasan saat ini adalah framing negatif tentang pesantren yang sedang marak diperbincangkan. Padahal pesantren di Indonesia secara langsung berkontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. “Ketika pendidikan di pesantren itu berhasil, maka tidak ada kebodohan di Indonesia,” paparnya. “Sehingga kontra narasi ini diperlukan untuk memberikan pemahaman kepada publik bahwa tidak seluruhnya pesantren itu sama.”

Secara tegas, bapak Mufid menyampaikan, munculnya isu-isu tersebut dapat dikarenakan ada pihak-pihak tertentu yang ingin menciptakan framing negatif terhadap pesantren. Dampaknya membuat anak-anak dan orang tua berpikir dua kali untuk memasukkan buah hatinya ke pesantren. Padahal faktanya, pesantren dari kulturnya mengajarkan rahmatan lil’alamin. Pesantren itu untuk membangun karakter personal santri dengan baik.
Berdasarkan hasil penelitian reaksi publik terhadap pondok pesantren di media sosial, sebanyak 62% bersikap negatif dalam menangkap isu yang beredar, 15% bersikap netral, dan 23% bersikap positif. Dari persentase tersebut, maka program kontra narasi ini harus ada. Lalu bagaimana caranya? Yaitu, dengan menciptakan citra baik terhadap pondok pesantren.
“Kegiatan ini sangat penting untuk kami ikuti karena antara pihak humas yang sering bersinggungan dengan orang-orang dan multimedia yang memproduksi konten-konten di media sosial menjadi kolaborasi yang penting di MBS Yogyakarta,” tutur ustazah Yuna.
Seperti yang disampaikan oleh bapak Mufid bahwa hadirnya konten-konten baik untuk menunjukkan bahwa pesantren itu tidak seburuk yang diberitakan. Pondok pesantren dapat membuat konten-konten yang kontra narasi dengan melibatkan para santri yang memiliki unsur nasihat dan sesuai dengan agama Islam agar dapat langsung mengarah pada kaum anak-anak muda yang sering scrolling media sosial. Sebab fenomena yang terjadi saat ini banyak orang lebih percaya orang yang populer di media sosial padahal ilmu agama yang dimiliki masih kurang.
Mengakhiri pelatihan peningkatan kualitas SDM, bapak Mufid mengingatkan untuk seluruh pesantren, khususnya yang berada di lingkungan Kabupaten Sleman untuk siap pula menerima autokritik dari internal maupun eksternal pesantren. Sebab dari kritik tersebut maka ada kepedulian pihak lain yang ingin kebaikan untuk pesantren. Dan satu hal yang paling penting agar pendaftar di pesantren kembali meningkat, maka bangun kepercayaan orang tua terhadap pesantren adalah menggunakan strategi pemasaran yang menarik tanpa menjelekkan pondok pesantren lainnya. (YS)